Bergeraklah

Pemikiran yang tidak pernah diekspresikan hanyalah sebatas pemikiran -Reso Sambodo-

Jujurlah

Musuh utama dari kebenaran adalah pembenaran -Reo Sambodo-

Yakinlah

Khawatir besok tidak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan -Sudjiwo Tedjo-

Jadilah dirimu

Sesedih-sedihnya manusia adalah manusia yang diciptakan namun tidak bisa menjadi dirinya sendiri -Reo Sambodo-

Sudahi Overthinking

Setelah lama memikirkan ternyata pemikiran terbaiknya adalah jangan dipikirkan -Reo Sambodo-

Minggu, 26 Agustus 2018

Petani Petani Terakhir

Selamat sore, 26 Agustus 2018

Mungkin saja memang sudah jalannya, jalan hidup bertani berakhir.

Menyewakan ruko profitnya lebih banyak serta lebih pasti daripada berbudidaya di lahan sempit perkotaan. Bisnis kafe tongkrongan jauh lebih menjanjikan daripada melumpur di sepetak lahan yang sudah ketat berhimpit bangunan. Harga tanah melambung begitu juga pajak bumi dan bangunan, menggiurkan untuk dilepas jual daripada mati-matian mempertahankan harga diri memanggul cangkul namun toh pajak tahunan tanah garapan tetap harus dibayarkan.

Bertani sudah tidak menjanjikan di lahan sempit perkotaan. Secara realita ekonomi dengan kondisi diatas memang benar. Namun masih ada petani petani yang menegakan idealismenya untuk tetap bertani ditengah realita tersebut. Bukankah beridealisme biasanya akan mati?

Mei 2018 tanggal tepatnya saya lupa,.waktu itu sore seperti ini namun sepulang kerja. Saya menyempatkan berputar putar kota Yogyakarta untuk mencari keberadaan petani-petani terakhir. Lebih tepatnya untuk keperluan pengerjaan penelitian dengan topik yang berbeda namun disisi lain memang karena saya sungguh penasaran mengenai alasan para petani Kota Yogyakarta mengapa mereka masih saja mau melakukan usaha budidaya pertanian dilahan sempit perkotaan.

Karena ini bukan tulisan ilmiah sehingga saya tidak perlu menyebutkan siapa nama dan lokasi pasti. Sore itu saya bertemu dengan simbah, saya sebut simbah karena usia beliau memang sudah tua dan sudah memiliki beberapa cucu. Beliau merupakan salah satu petani petani terakhir Kota Yogyakarta dan sosoknya cukup dipandang sebagai tokoh masyarakat oleh warga disekitarnya. Pertemuan diawali dari keisengan saya mencari tahu siapa pemilik sepetak sawah ditengah himpitan bangunan perumahan dan oleh warga sekitar diarahkan bertemu simbah. 

Gilanya, ternyata simbah adalah pemilik 9 Ha sawah yang tersebar dibeberapa tempat yang hampir semuanya terhimpit bangunan. Pemilik rumah Kos dengan 12 kamar dan pemilik tempat penggilingan. Awalnya sempat skeptis terbesit bahwa simbah  adalah pengusaha pertanian seperti kebanyakan pengusaha yang mengambil untung  dari dunia pertanian tanpa memperhatikan roh dari pertanian itu sendiri. Namun setelah mendengarkan beliau berbicara cukup lama, pendapat saya tentang simbah mulai berubah dan mulai menjadi menarik bagi saya untuk terus mendengarkan. Simbah dulunya orang hebat di dunia pertanian, bertani dari usia muda hingga sekarang dan mengklaim sampai matipun beliau akan bertani. Sudah dilarang anak cucu namun tetap saja akan terus berkubang dalam beratnya lumpur sawah.

Dan benar saja apa yang dikeluhkan adalah tentang pajak tanah yang menghantui setiap tahunnya.Tetap harus dibayarkan meskipun bertani adalah bentuk pengabdiannya kepada negara. Bahkan sampai tingkat menteri dan pejabat pejabat pernah singgah untuk membuat foto branding panen raya di sawah milik simbah. Namun meskipun sawah simbah kerap kali dijadikan spot foto untuk pejabat negara tetap saja simbah yang masih menanggung beban pajak tahunan atas tanah sawahnya.Mengapa tidak dijual saja mbah? kalau hasil budidaya hampir impas untuk membayar pajak tanah tahunannya. Atau mengapa tidak dibuat bangunan saja mbah untuk memperluas rumah kos bahkan menjadi juragan kos? tanah simbah ini termasuk di kawasan prospek karena berada diarea kampus ternama. Bukankah hasil sewa kamar kos jauh berlipat dengan hasil budidaya setiap tahunnya?

Jawaban tak terduga yang saya terima.
"Mas, bertani itu sudah menjadi jalan hidup. tak akan saya jual sawah jadi rumah. Selama saya hidup saya akan bertani. Sudah banyak yang menawar dengan harga sangat tinggi namun biarlah sawah tetap jadi sawah. Kalau mas ingin bertani, ibarat menanam mangga satu batang saja yang mas repot repot mas tanam dan rawat hingga berbuah maka hasil buahnya tidak akan habis mas makan sendiri namun pasti akan menjadi manfaat bagi orang sekitar mas. Itulah bertani, biar kita susah susah menanam dan merawat sampai panen dengan resiko gagal sekalipun namun hasilnya akan dapat dinikmati dan memberi manfaat bagi banyak orang".

simbah juga menuturkan bahwa dirinya duduk saja penghasilan sudah pasti diterima dari sewa kos, namun tetap setiap hari bertani harus dilakukan ditengah himpitan gempita perkotaan. 

Pendapat saya pribadi mungkin saja beliau ini bisa senyaman ini dalam bertani karena memang pendapatan bulanan sudah terjamin namun saya pribadi hargai tinggi kemauan untuk menjaga sawah dan kemauan bertani dari beliau. Beliau adalah salah satu dari segelintir petani petani terakhir kota Jogja, jika tiba sawah menjadi hak waris anak anaknya entah pertanian masih akan berlanjut sesuai pasion beliau ataukah keturunannya akan mengambil jalan realistis menjual sawah sawahnya. Sedikit gambaran petani petani terakhir yang mungkin saja akan punah karena pertanian yang berlangsung adalah pertanian untuk menunjukan aktualisasi diri dan bukan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sangat mungkin terjadi baik simbah atau orang orang semacam simbah di Jogja ini akan hilang begitu juga dengan sawah yang merupakan idealismenya dalam generasi selanjutnya. Karena pertanian dilahan sempit perkotaan khususnya Kota Yogyakarta masih kalah menjanjikan secara ekonomi dengan usaha usaha lain dibidang pertanian.  

Mungkin saja memang sudah jalannya, jalan hidup bertani berakhir. 

Kamis, 23 Agustus 2018

Menjadi apa dalam pertanian?

Selamat pagi, 24 Agustus 2018. 

Ada keresahan yang selama ini masih belum saya simpulkan jawabannya dan semoga dalam waktu dekat analisa saya selesai hingga membulatkan kesimpulan bagi saya pribadi setidaknya. Yang saya tulis ini akan sangat mengambang karena masih dalam posisi pokok permasalahan, belum menuju ke teori, analisis ,pembahasan apalagi kearah simpulan.

Tentang kemana arah dunia pertanian harus dibawa. Mengapa saya memikirkan itu? tergerak menjadi kewajiban seorang lulusan pertanian untuk memikirkan masalah tersebut seperti halnya seorang arsitek ingin mengembangan dunia rancang bangun atau seorang astronom ingin menjelajahi semesta. Dan dasar saya memikirkan masalah ini karena menurut keterbatasan pemikiran saya, arah dunia pertanian di Indonesia ini belum jelas mau dibawa kemana. Berbagai pilihan jalan masih menggantung untuk mewujudkan Ketahanan pangan atau bahkan Indonesia berdaulat pangan. 

Berbagai kalangan belum solid arahnya untuk mencapai tujuan yang sama. Sebagai contoh praktisi pertanian organik menginginkan pertanian masa depan adalah pertanian ramah lingkungan yang tanpa meninggalkan residu yang dapat merusak alam, namun sebagian besar mereka menjual produknya dengan harga lebih tinggi dari pertanian kimiawi yang sampai saat ini pangsa pasarnya tersendiri sehingga saya rasa masih menjadi samar untuk diterapkan dalam mencapai ketahanan pangan. Pelaku usaha pertanian konvensional menggenjot produksinya dengan penambahan berbagai eksternal input  untuk mencapai kualitas dan kuantitas yang diinginkan serta sebagian menganggap pertanian masa depan adalah pertanian dengan teknologi modern serta maju yang lebih mengarahkan untuk mencapai produk kualitas terbaik dan produktivitas tertinggi. Pemangku kebijakan juga sepertinya masih limbung tentang arah pertanian, seperti diketahui ganti menteri ganti lagi kebijakannya dan mungkin akan selamanya seperti itu. Perusahaan penunjang pertanian seperti pestisida,pupuk,alat pertanian, ZPT dll tentu sebagian besar orientasinya adalah profit dan bagi mereka arah pertanian Indonesia yang terbaik adalah yang akan memberikan mereka profit paling tinggi.Lain lagi LSM yang kepentingannya dan latar belakangnya tentu macam macam.

Lain lagi para petani. Petani itu macam macam menurut pengamatan saya. Jika yang saya sebutkan di atas tadi adalah pelaku usaha pertanian maka masih banyak macam petani di Indonesia dengan berbagai pengelompokannya. Ada petani pedesaan, pinggiran dan perkotaan berdasarkan lokasinya. Ada petani sayur, palawija, perkebunan, kehutanan dll berdasarkan komoditasnya. Ada petani pesisir, dataran rendah, dataran tinggi menurut kondisi wilayahnya. Masih banyak pengelompokan lainnya yang tentu saja memiliki cara pandang dan pola pikir yang berbeda beda terhadap arah pertanian.

Mau dibawa kearah mana dunia pertanian di Indonesia? akankah dibiarkan mengalir seperti ini saja tanpa arah hingga kelak akan menemukan jalannya sendiri. Akankah dipaksakan ke arah pertanian ramah lingkungan. Akankah diarahkan menjadi pertanian modern dengan penerapan segala perkembangan ilmu pengetahuan. Ataukah ditutup saja pertanian dengan berbagai msalahnya ini adn mungkin mengandalkan impor. Berbagai opsi tersedia dan berpeluang besar untuk diambil dalam perjalanan dunia pertanian Indonesia kedepan.

Setidaknya tidak usah jauh jauh mengarah skala Nasional, yang saya pribadi ingin pastikan adalah kontribusi paling tepat apa yang bisa saya sumbangkan untuk pertanian Indonesia. Hingga saat ini saya masih belum sepenuhnya mengambil tindakan karena belum mengambil suatu simpulan yang bulat. Apakah akan terjun sabagai peneliti dengan berbagai riset tentang pertanian, sebagai pelaku usaha pertanian, pelaku usaha penunjang pertanian, sebagai pemangku kebijakan pertanian, dan masih banyak opsi lain yang tentu saja masih saya pertimbangkan.

Mengapa harus dipertimbangkan? karena bisa jadi pilihan yang diambil justru malah secara tidak langsung menjadi masalah bagi pertanian kedepannya. Masih ingat tentang gencarnya usaha swasembada pangan diaplikasikan oleh para insinyur pertaniaan pada waktu yang lalu? berbagai input kimia masuk dan memang sukses pada saat itu produktivitas melambung naik pada saat itu namun menjadi masalah dikemudian hari tentang input kimiawi yang masih saja meninggalkan jejak diatas bumi pertiwi.

Langkah tetap harus diambil, bukan menjadi seorang apatis terhadap pertanian namun tentang langkah bagi diri sendiri untuk dapat berkontribusi positif terhadap pertanian. Meskipun kebenaran selalu saja samar dan yang terang terlihat adalah pembenaran.

Rabu, 22 Agustus 2018

Apatis

Selamat Pagi, 23 Agustus 2018.

Sudah lama rasanya tidak menulis. Sudah sewajarnya seorang pemikir mengekspresikan pemikirannya melalui tulisannya.

Beberapa hari yang lalu seorang yang saya seniorkan membahas tentang pemuda anak didiknya yang apatis terhadap AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang diajarkannya. Katanya percuma dipelajari jika pada akhirnya setiap penentu kebijakan dalam mengambil sebuah kebijakan tanpa memperhatikan kajian AMDAL atau bahkan membuang simpulannya.

Saya tidak akan menyalahkan dan membenarkan pemuda tersebut. Di satu sisi mungkin pemuda tersebut mungkin sungguh sangat peduli terhadap lingkungan dan melihat kondisi yang ada jauh dari idealismenya atau di sisi lain pemuda tersebut sudah jenuh dengan teori yang tak kunjung ada prakteknya.

Yang akan saya ambil adalah sikap Apatis yang dipilihnya, pola pikir mengapa harus mempelajari itu jika pada akhirnya sama saja. Bagi saya pribadi pada dasarnya ilmu pengetahuan itu sifatnya murni,tinggal persepsi apa yang dipakai dalam menggunakannya. Ilmu bagai sebuah senjata, tinggal siapa yang menggunakannya dan untuk apa ilmu tersebut digunakan. AMDAL tentu pada tujuannya adalah baik dan ilmu yang mengikutinya adalah ilmu ilmu alam dan ilmu sosial yang baik. Tinggal bagaimana ilmu tersebut diterapkan secara tepat, apatis untuk tidak mempelajari suatu ilmu adalah bentuk kesombongan yang pada akhirnya akan menuntun diri pada kebutaan kondisi.

Sungguh bagi saya sikap apatis  adalah sikap berbahaya bagi kehidupan bersama Tidak peduli lagi terhadap keilmuan, politik, keberlangsungan kehidupan, tatanan sosial, dan lainnya serta lebih memilih hidup dalam komunitasnya untuk memaksakan idealismenya tanpa mau bersinggungan dengan realita yang ada. Maka benar benar celaka akan berbahaya. Setidaknya jika mengetahui hal yang benar dan mengetahui kondisi yang salah maka lakukanlah hal yang benar tersebut mulai dari diri sendiri daripada bersikap apatis dan memandang semuanya omong kosong. Setidaknya lagi, cegahlah orang jahat mengambil kebijakan yang jahat. Kuasai ilmunya dan gunakanlah sesuai nurani daripada sekedar mengeluh pada kondisi. Tak perlu saling menghujat, jika setiap orang melakukan hal yang baik maka akan tercipta pula tatanan yang baik.

Saya yang jauh dari kebenaran ini hanya sekedar menuliskan pemikiran.